Sabtu, 23 Januari 2010

Aqidah Ulama Indonesia; ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH (Mewaspadai Ajaran Wahhabi)


Ummat Islam Indonesia berhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah, mengikuti aliran Asy’ariyyah dalam bidang akidah dan Madzhab Syafi’i dalam hukum fiqih. Berikut ini penegasan beberapa ulama Indonesia tentang akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah:

1. Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al Bantani (W.1314 H/1897).
Beliau menyatakan dalam Tafsirnya, at-Tafsir al Munir li Ma’alim at-Tanzil, jilid I, hlm.282 ketika menafsirkan ayat 54 surat al A’raf (7):

ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

Sebagai berikut:

"وَالْوَاجِبُ عَلَيْنَا أَنْ نَقْطَعَ بِكَوْنِهِ تَعَالَى مُنَزَّهًا عَنِ الْمَكَانِ وَالْجِهَةِ...".

“Dan kita wajib meyakini secara pasti bahwa Allah ta’ala maha suci dari tempat dan arah….”

2. Mufti Betawi Sayyid Utsman bin Abdullah bin ‘Aqil bin Yahya al ‘Alawi. Beliau banyak mengarang buku-buku berbahasa Melayu yang hingga sekarang menjadi buku ajar di kalangan masyarakat betawi yang menjelaskan akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti buku beliau Sifat Dua Puluh. Dalam karya beliau “az-Zahr al Basim fi Athwar Abi al Qasim”, hal.30, beliau mengatakan: “…Tuhan yang maha suci dari pada jihah (arah)…”.

3. Syekh Muhammad Shaleh ibnu Umar as-Samaraniy yang dikenal dengan sebutan Kiai Shaleh Darat Semarang (W. 1321 H/sekitar tahun 1901). Beliau berkata dalam terjemah kitab al Hikam (dalam bahasa jawa), hlm.105, sebagai berikut:
“…lan ora arah lan ora enggon lan ora mongso lan ora werna”
Maknanya:”…dan (Allah Maha Suci) dari arah, tempat, masa dan warna”.

4. K.H.Muhammad Hasyim Asy’ari, Jombang, Jawa Timur pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama’ (W. 7 Ramadlan 1366 H/25 Juni 1947). Beliau menyatakan dalam Muqaddimah Risalahnya yang berjudul: “at-Tanbihat al Wajibat” sebagai berikut:

"وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ الْمُنَـزَّهُ عَنِ الْجِسْمِيَّةِ وَالْجِهَةِ وَالزَّمَانِ وَالْمَكَانِ...".

Maknanya: “Dan aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang wajib disembah melainkan Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, Dia maha suci dari berbentuk (berjisim), arah, zaman atau masa dan tempat…”.

5. K.H.Muhammad Hasan al Genggongi al Kraksani, Probolinggo (W. 1955), Pendiri Pondok pesantren Zainul Hasan, Probolinggo, Jawa Timur. Beliau menyatakan dalam risalahnya (Aqidah at-Tauhid), hlm.3 sebagai berikut:

وُجُوْدُ رَبِّيْ اللهِ أَوَّلُ الصِّفَاتْ بِلاَ زَمَانٍ وَمَكَانٍ وَجِهَاتْ
فَإِنَّهُ قَدْ كَـانَ قَبْلَ الأَزْمِـنَةْ وَسَائِرِ الْجِهَاتِ ثُمَّ الأَمْكِنَةْ

“Adanya Tuhanku Allah adalah sifat-Nya yang pertama, (ada) tanpa masa, tempat dan (enam) arah. Karena Allah ada sebelum semua masa, semua arah dan semua tempat”.

6. K.H.Raden Asnawi, Kampung Bandan-Kudus (W. 26 Desember 1959). Beliau menyatakan dalam risalahnya dalam bahasa Jawa “Jawab Soalipun Mu’taqad seket”, hlm.18, sebagai berikut:
“…Jadi amat jelas sekali, bahwa Allah bukanlah (berupa) sifat benda (yakni sesuatu yang mengikut pada benda atau ‘aradl), Karenanya Dia tidak membutuhkan tempat (yakni Dia ada tanpa tempat), sehingga dengan demikian tetap bagi-Nya sifat Qiyamuhu bi nafsihi” (terjemahan dari bahasa jawa).

7. K.H. Siradjuddin Abbas (W. 5 Agustus 1980/23 Ramadlan 1400 H). Beliau mengatakan dalam buku “Kumpulan Soal-Jawab Keagamaan”, hal. 25: “…karena Tuhan itu tidak bertempat di akhirat dan juga tidak di langit, maha suci Tuhan akan mempunyai tempat duduk, serupa manusia”.

8. K.H. Djauhari Zawawi, Kencong, Jember (W.1415 H/20 Juli 1994), Pendiri Pondok Pesantren as-Sunniyah, Kencong, Jember, Jawa Timur. Beliau menyatakan dalam risalahnya yang berbahasa Jawa, sebagai berikut: “…lan mboten dipun wengku dining panggenan...”, maknanya: “…Dan (Allah) tidak diliputi oleh tempat…” (Lihat Risalah: Tauhid al-‘Arif fi Ilmi at-Tauhid, hlm.3).

9. K.H. Choer Affandi (W.1996), pendiri P.P. Miftahul Huda, Manonjaya, Tasikmalaya, Jawa Barat. Beliau menyatakan dalam risalahnya dengan bahasa Sunda yang berjudul “Pengajaran ‘Aqaid al Iman”, hal. 6-7 yang maknanya: ”(Sifat wajib) yang kelima bagi Allah adalah Qiyamuhu binafsihi – Allah ada dengan Dzat-Nya, Tidak membutuhkan tempat – Dan juga tidak membutuhkan kepada yang menciptakan-Nya, Dalil yang menunjukkan atas sifat Qiyamuhu binafsihi, seandainya Allah membutuhkan tempat –Niscaya Allah merupakan sifat benda (‘aradl), Padahal yang demikian itu merupakan hal yang mustahil –Dan seandainya Allah membutuhkan kepada yang menciptakan-Nya, Niscaya Allah ta’ala (bersifat) baru -Padahal yang demikian itu adalah sesuatu yang mustahil (bagi Allah)”.

Pemahaman Ahlussunnah Tentang Hadîts an-Nuzûl; Mewaspadai Akidah Tasybih Kaum Wahhabiyyah


Ada sebuah hadits yang dikenal dengan nama Hadîts an-Nuzûl. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imâm al-Bukhari dan al-Imâm Muslim dalam kitab Shahih masing-masing. Redaksi hadits riwayat al-Bukhari adalah sebagai berikut: (Shahîh al-Bukhâri; Kitâb al-Shalât, Bâb al-Du’â Wa al-Shalât Âkhir al-Layl. Lihat pula Shahîh Muslim; Kitâb Shalât al-Musâfirîn Wa Qashruhâ; Bâb al-Targhîb Fî al-Du’â Wa al-Dzikr Fî Âkhir al-Layl Wa al-Ijâbah Fîh.)

“Telah mengkabarkan kepada kami Abdullah ibn Maslamah, dari Malik, dari Ibn Syihab, dari Abu Salamah dan Abu Abdillah al-Agarr, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:

يَنْـزِلُ رَبّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيلَةٍ إلَى السّمَاءِ الدّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ اللّيلِ الآخِر يَقُوْل: مَنْ يَدْعُونِي فَأسْتَجِيْب لهُ وَمَن يَسْألنِي فأعْطِيه وَمنْ يَسْتَغْفِرني فأغْفِر لهُ (رواه البخاري)

Hadîts an-Nuzûl ini tidak boleh dipahami dalam makna zhahirnya, karena makna zhahirnya adalah turun dari arah atas ke arah bawah, artinya bergerak dan pindah dari satu tempat ke tampat yang lain, dan itu mustahil pada hak Allah. Al-Imâm an-Nawawi dalam kitab Syarh Shahîh Muslim dalam menjelaskan Hadîts an-Nuzûl ini berkata:

“Hadist ini termasuk hadits-hadits tentang sifat Allah. Dalam memahaminya terdapat dua madzhab mashur di kalangan ulama;
Pertama: Madzhab mayoritas ulama Salaf dan sebagian ulama ahli Kalam (teolog), yaitu dengan mengimaninya bahwa hal itu adalah suatu yang hak dengan makna yang sesuai bagi keagungan Allah, dan bahwa makna zahirnya yang berlaku dalam makna makhluk adalah makna yang bukan dimaksud. Madzhab pertama ini tidak mengambil makna tertentu dalam memahaminya, artinya mereka tidak mentakwilnya. Namun mereka semua berkeyakinan bahma Allah Maha Suci dari sifat-sifat makhluk, Maha Suci dari pindah dari suatu tempat ke tempat lain, Maha Suci dari bergerak, dan Maha Suci dari seluruh sifat-sifat makhluk.
Kedua: Madzhab mayoritas ahli Kalam (kaum teolog) dan beberapa golongan dari para ulama Salaf, di antaranya sebagaimana telah diberlakukan oleh Malik, dan al-Auza’i, bahwa mereka telah melakukan takwil terhadap hadits ini dengan menentukan makna yang sesaui dengan ketentuan-ketentuannya. Dalam penggunaan metode takwil ini para ulama madzhab kedua ini memiliki dua takwil terhadap Hadîts an-Nuzûl di atas.
Pertama; Takwil yang nyatakan oleh Malik dan lainnya bahwa yang dimaksud hadits tersebut adalah turunnya rahmat Allah, dan perintah-Nya, serta turunnya para Malaikat pembawa rahmat tersebut. Ini biasa digunakan dalam bahasa Arab; seperti bila dikatakan: “Fa’ala al-Sulthân Kadzâ…” (Raja melakukan suatu perbuatan), maka yang dimaksud adalah perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya dengan perintahnya, bukan raja itu sendiri yang melakukan perbuatan tersebut.
Kedua; takwil hadits dalam makna isti’ârah (metafor), yaitu dalam pengertian bahwa Allah mengaruniakan dan mengabulkan segala permintaan yang dimintakan kepada-Nya saat itu. (Karenanya, waktu sepertiga akhir malam adalah waktu yang sangat mustajab untuk meminta kepada Allah)” (An-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, j. 6, h. 36).

Dengan demikian pendapat kaum Musyabbihah jelas batil ketika mereka mengatakan bahwa yang dimaksud adalah turunnya Allah dengan Dzat-Nya. Di antara dalil lainnya yang dapat membatalkan pendapat mereka ini adalah bahwa sebagian para perawi hadits al-Bukhari dalam Hadîts an-Nuzûl ini telah memberikan harakat dlammah pada huruf yâ’, dan harakat kasrah pada huruf zây; menjadi “Yunzilu”, artinya; menjadi fi’il muta’addi; yaitu kata kerja yang membutuhkan kepada objek (Maf’ûl Bih). Dengan demikian menjadi bertambah jelas bahwa yang turun tersebut adalah para Malaikat dengan perintah Allah. Makna ini juga seperti yang telah jelas disebutkan dalam riwayat Hadîts an-Nuzûl lainnya dari sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudriy bahwa Allah telah memerintah Malaikat untuk menyeru di langit pertama pada sepertiga akhir malam tersebut. Dengan demikian kaum Masyabbihah sama sekali tidak dapat menjadikan hadits ini sebagai dalil bagi mereka.

Seorang ahli tafsir terkemuka; al-Imâm al-Qurthubi, dalam menafsirkan firman Allah: ”Wa al-Mustaghfirîn Bi al-Ashâr” (QS. Ali ’Imran: 17), artinya; ”Dan orang-orang yang ber-istighfâr di waktu sahur (akhir malam)”, beliau menyebutkan Hadîts an-Nuzûl dengan beberapa komentar ulama tentangnya, kemudian beliau menuliskan sebagai berikut:

“Pendapat yang paling baik dalam memaknai Hadîts an-Nuzûl ini adalah dengan merujuk kepada hadits riwayat an-Nasa-i dari sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudriy, bahwa Rasulullah bersabda:

إنّ اللهَ عَزّ وَجَلّ يُمْهِلُ حَتّى يَمْضِيَ شَطْرُ اللّيْلِ الأوّلِ ثُمّ يأمُرُ مُنَادِيًا فَيَقُوْل: هَلْ مِنْ دَاعٍ يُسْتَجَابُ لَه، هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ يُغْفَرُ لهُ، هَلْ مِنْ سَائِلٍ يُعْطَى

”Sesungguhnya Allah mendiamkan malam hingga lewat paruh pertama dari malam tersebut, kemudian Allah memerintah Malaikat penyeru untuk berseru: Adakah orang yang berdoa?! Maka ia akan dikabulkan. Adakah orang yang meminta ampun?! Maka ia akan diampuni. Adakah orang yang meminta?! Maka ia akan diberi.
Hadits ini dishahihkan oleh Abu Muhammad Abd al-Haq. Dan hadits ini telah menghilangkan segala perselisihan tentang Hadîts an-Nuzûl, sekaligus sebagai penjelasan bahwa yang dimaksud dengan hadits pertama (hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim) adalah dalam makna dibuang mudlâf-nya. Artinya, yang dimaksud dengan hadits pertama tersebut ialah bahwa Malaikat turun ke langit dunia dengan perintah Allah, yang kemudian Malaikat tersebut menyeru. Pemahaman ini juga dikuatkan dengan adanya riwayat yang menyebutkan dengan dlammah pada huruf yâ’ pada kata “Yanzilu” menjadi “Yunzilu”, dan riwayat terakhir ini sejalan dengan apa yang kita sebutkan dari riwayat an-Nasa-i di atas” (Tafsîr al-Qurthubi, j. 4, h. 39).

Al-Imâm al-Hâfizh Ibn Hajar dalam kitab Syarh Shahîh al-Bukhâri menuliskan sebagai berikut:

“Kaum yang menetapkan adanya arah bagi Allah dengan menjadikan Hadîts an-Nuzûl ini sebagai dalil bagi mereka; yaitu menetapkan arah atas, pendapat mereka ini ditentang oleh para ulama, karena berpendapat semacam itu sama saja dengan mengatakan Allah bertempat, padahal Allah Maha suci dari pada itu. Dalam makna Hadîts an-Nuzûl ini terdapat beberapa pendapat ulama” (Fath al-Bâri, j. 3, h. 30).

Kemudian al-Hâfizh Ibn Hajar menuliskan:

“Abu Bakar ibn Furak meriwayatkan bahwa sebagian ulama telah memberikan harakat dlammah pada huruf awalnya; yaitu pada huruf yâ’, (menjadi kata yunzilu) dan objeknya disembunyikan; yaitu Malaikat. Yang menguatkan pendapat ini adalah hadits riwayat an-Nasa-i dari hadits sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudzriy, bahwa Rasulullah bersabda:

إنّ اللهَ يُمْهِلُ حَتّى يَمْضِيَ شَطْرُ اللّيْلِ ثُمّ يأمُرُ مُنَادِيًا يَقُوْل: هَلْ مِنْ دَاعٍ فَيُسْتَجَابُ لَه

”Sesungguhnya Allah mendiamkan waktu malam hingga lewat menjadi lewat paruh pertama dari malam tersebut. Kemudian Allah memerintah Malaikat penyeru untuk berseru: Adakah orang yang berdoa!! Ia akan dikabulkan”.
Demikian pula pemahaman ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan dari Utsman ibn al-Ash dengan redaksi sabda Rasulullah:

يُنَادِ مُنَادٍ هَلْ مِنْ دَاعٍ يُسْتَجَابُ لَهُ

”…maka Malaikat penyeru berseru: ”Adakah orang yang berdoa! Maka akan dikabulkan baginya”.
Oleh karena itulah al-Qurthubi berkata: “Dengan demikian segala perselisihan tentang hadits ini menjadi selesai” (Fath al-Bâri, j. 3, h. 30).

Al-Imâm Badruddin ibn Jama’ah dalam kitab Idlâh al-Dalîl Fî Qath’i Hujaj Ahl al-Ta’thîl menuliskan sebagai berikut:

“Ketahuilah, bahwa tidak boleh memaknai an-nuzûl dalam hadits ini dalam pengertian pindah dari satu tempat ke tempat lain, karena beberapa alasan berikut;

Pertama: Turun dari satu tempat ke tempat lain adalah salah satu sifat dari sifat-sifat benda-benda dan segala sesuatu yang baharu. Turun dalam pengertian ini membutuhkan kepada tiga perkara; Benda yang pindah itu sendiri, Tempat asal pindahnya benda itu, dan Tempat tujuan bagi benda itu. Makna semacam ini jelas mustahil bagi Allah.

Ke Dua: Jika Hadîts an-Nuzûl dimaknai bahwa Allah turun dengan Dzat-Nya secara hakekat, maka berarti pekerjaan turun tersebut terus-menerus terjadi pada Allah setiap saat dengan pergerakan dan perpindahan yang banyak sekali, supaya bertepatan dengan sepertiga akhir malam. Hal ini karena kejadian sepertiga akhir malam terus terjadi dan bergantian di setiap belahan bumi. Dengan demikian hal itu menuntut turunnya Allah setiap siang dan malam dari suatu kaum kepada kaum yang lain. Hal itu juga berarti bahwa Allah pada saat yang sama turun naik antara langit dunia dan arsy. Tentunya pendapat semacam ini tidak akan diungkapkan oleh seorang yang berakal sehat.

Ke Tiga: Pendapat yang menyebutkan bahwa Allah bertempat di atas arsy dan memenuhinya, bagaimana mungkin cukup bagi-Nya untuk bertempat di langit dunia, padahal luasnya langit dibanding arsy tidak ubahnya seperti sebesar kerikil dibanding lapangan yang luas. Dalam hal ini pendapat sesat tersebut tidak lepas dari dua kemungkinan; Pertama: Bahwa langit dunia setiap saat berubah menjadi besar dan luas hingga mencukupi Allah. Kedua: Atau bahwa Dzat Allah setiap saat menjadi kecil agar tertampung oleh langit dunia tersebut. Tentunya, kita menafikan dua keadaan yang mustahil tersebut dari Allah.

Dengan demikian setiap ayat dan hadits mutasyâbihât yang zahirnya seakan menunjukkan adanya keserupaan antara Allah dengan makhluk-Nya harus ditakwil dengan makna yang sesuai dengan keagungan Allah. Atau jika tidak memberlakukan takwil maka harus diyakini kesucian Allah dari segala sifat-sifat makhluk-Nya” (Idlâh al-Dalîl, h. 164).

KESIMPULAN: Allah bukan benda, dan Dia tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Segala apa yang terlintas dalam benak manusia tentang Allah maka Dia tidak seperti demikian itu. Allah tidak terikat oleh dimensi; ruang dan waktu, Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah. Allah yang menciptakan arsy dan langit maka Dia tidak membutuhkan kepada keduanya.

Jangan Salah Memahami Hadits Ini, Orang2 Wahhabi Mengkafirkan Banyak Orang Islam Karena Salah Memahami Hadits Ini, Hattiii2..!!!


Hadits yang kita maksud adalah sabda Rasulullah:

" من حلف بغير الله فقد كفر أو أشرك " رواه الترمذي

Hadits ini sering disalahpahami oleh sebagian orang hanya karena membaca zhahirnya saja tanpa mengaitkannya dengan ayat atau hadits-hadits lain yang terkait. Sehingga mereka memahami bahwa setiap orang yang bersumpah dengan selain nama Allah dihukumi kafir atau musyrik.

Pada dasarnya sumpah seorang hamba yang diperbolehkan dan dianggap sah menurut syara' adalah dengan menyebut nama Allah atau salah satu sifat-Nya. Sedangkan Allah ta'ala bersumpah dengan makhluk yang Ia kehendaki. Asy-Sya'bi mengatakan:

" الخالق يقسم بما شاء من خلقه، والمخلوق لا يقسم إلا بالخالق، والله أقسم ببعض مخلوقاته ليعرفهم قدرته لعظم شأنها عندهم ولدلالتها على خالقها ولتنبيه عباده على أن فيها منافع لهم كالتين والزيتون".

" Allah bersumpah dengan makhluk yang Ia kehendaki, sedangkan makhluk tidak bersumpah kecuali dengan sang Khaliq. Allah ta'ala bersumpah dengan sebagian makhluk-Nya untuk menunjukkan hamba atas kekuasaan-Nya karena sangat agungnya makhluk tersebut di mata para hamaba, dan karena makhluk tersebut membuktikan wujud penciptanya, juga untuk mengingatkan hamba bahwa pada makhluk-makhluk tersebut terdapat banyak manfaat bagi mereka seperti buah Tin dan Zaytun".

Sedangkan makna hadits tersebut yang sebenarnya adalah seperti diuraikan oleh al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al Bari:

" قال الشافعي: أخشى أن يكون الحلف بغير الله معصية –ومعناه أنه مكروه كراهة شديدة-، وقال إمام الحرمين: المذهب القطع بالكراهة، وجزم غيره بالتفصيل، فإن اعتقد في المحلوف به من التعظيم ما يعنقده في الله حرم الحلف به وكان بذلك الاعتقاد كافرا وعليه يتنزل الحديث المذكور، وأما إذا حلف بغير الله لاعتقاده تعظيم المحلوف به على ما يليق به من التعظيم فلا يكفر بذلك ولا تنعقد يمينه " ا.هـ .

"Al Imam asy-Syafi'i mengatakan: Aku takut bahwa bersumpah dengan selain Allah adalah maksiat (maksud beliau adalah makruh dengan kemakruhan yang sangat). Imam al Haramain mengatakan: Madzhab Syafi'i dengan pasti menyatakan makruh. Sedangkan selain imam al Haramain merinci masalah ini bahwa jika orang yang bersumpah tersebut meyakini pengangungan terhadap yang disebut dalam sumpahnya seperti halnya ia mengagungkan Allah haram baginya bersumpeh seprti itu dan dengan keyakinan tersebut ia menjadi kafir dan inilah maksud hadits tersebut. Sedangkan jika ia hanya meyakini pengagungan terhadap yang disebutnya seperti pengagungan yang layak bagi dia, orang tersebut tidak kafir dan tidak jadi sumpahnya".

Larangan untuk bersumpah dengan selain Allah ini adalah bermakna karahah, bukan tahrim, dengan dalil beberapa hadits Nabi, di antaranya sabda Nabi shallallahu 'alayhi wasallam:

" أفلح – وأبيه – إن صدق "

Maknanya: "Dia beruntung –demi ayahnya- jika ia benar dalam perkataanya tersebut".

Bahkan suatu ketika 'Umar bersumpah dengan nama ayahnya dan terdengar oleh Nabi, Rasulullah hanya melarang perbuatan Umar dengan mengatakan:

" ألا إن الله ينهاكم أن تحلفوا بآبائكم، فمن حلف فليحلف بالله أو ليصمت" رواه البخاري ومسلم والدارمي وأحمد وأبو داود والترمذي والنسائي وابن ماجه

Maknanya: "Sesungguhnya Allah melarang kalian untuk bersumpah dengan (menyebut) bapak-bapak kalian, jadi barangsiapa mau bersumpah hendaklah bersumpah dengan nama Allah atau jika tidak hendaklah ia diam" (H.R. al Bukhari, Muslim, ad-Darimi, Ahmad dan Ashab as-Sunan)

Anda lihat... Rasulullah tidak mengatakan kepada Umar: "Engkau telah musyrik..!!!". Anda katakan kepada orang2 Wahhabi yang biasa mengkafirkan secara mutlak orang yang bersumpah bukan dengan nama Allah: "Apakah anda mau mengkafirkan sahabat Umar?", mereka akan terdiam...

Dengan demikian, bersumpah dengan nama Nabi shallallahu 'alayhi wasallam dikecualikan dari larangan tersebut, karena Allah telah bersumpah dengannya dalam ayat:

لعمرك إنهم لفي سكرتهم يعمهون

Dalam ayat ini Allah bersumpah dengan kehidupan Rasul-Nya, sebagaiman dinyatakan oleh mayoritas ahli tafsir dari kalangan ulama salaf dan khalaf. Karenanya Imam Ahmad ibn Hanbal menyatakan dalam salah satu riwayat dari beliau bahwa boleh bersumpah dengan Nabi dan orang yang melanggar sumpahnya dengan menyebut nama Nabi wajib melaksanakan kaffarahnya. Al Hafizh as-Suyuthi mengatakan dalam kitabnya al Iklil fi Istinbath at-Tanzil tentang ayat tersebut:

" واستدل بها أحمد بن حنبل على أن من أقسم بالنبي صلى الله عليه وسلم لزمته الكفارة " ا.هـ .

" Ayat ini dijadikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal sebagai dalil bahwa orang yang bersumpah dengan Nabi Wajib membayar kaffarat (jika melanggarnya) ".
Ini dikarenakan Nabi shallallahu 'alayhi wasallam adalah salah satu dari bagian dua syahadat yang tidak sah iman seseorang tanpa-nya.